'' Kamu
tau aku mencintaimu, untuk itu aku mengikhlaskanmu''
Aku
ingat, aku begitu hangat waktu itu. Entah karena demam atau Cuma sedang cemburu.
Mungkin juga patah hati. Aku juga tidak tau kenapa aku layak untuk patah hati.
Padahal aku dan matahari tidak pernah menjalin janji apa-apa. Hubungan kami pun
ibarat sebatas dua benda yang saling memberi kabar dari jauh. Saling bertanya
tentang manusia-manusia yang berlalu lalang dan anjing peliharaan yang
tiba-tiba hilang. Kami sering berbicara, tentang apa saja. Aku bercerita
kepadanya tentang akar yang tiba-tiba hendak melihat permukaan dan pucuk yang
diam-diam ingin hidup tenang didalam kuburan. Aku juga bercerita kepadanya
tentang ranting kecil yang berharap buah besar tumbuh dari tubuhnya dan batang
pokok yang ternyata mulai bosan menahan kami semua.
Namun,
dia, matahari yang membuatku jatuh cinta, tidak pernah bercerita apa-apa.
Dia berkata, dia dilahirkan hanya
untuk menyinari. Itu saja. Selebihnya, aku tidak tau hal lain tentang dia. Tapi
aku mencintaintainya. Dan seseorang yang
sedang jatuh cinta adalah peneliti yang mahir, bukan?
Maka,
semenjak aku tau bahwa aku jatuh hati kepada matahari yang lahir hanya untuk
menyinari, aku mencari tau tentangnya. Apapun tentang dia. Asal usulnya, sanak familinya,
kerabat-kerabatnya, teman dan sahabatnya, musuhnya. Bahkan aku mencari tahu
tentang sekolahnya, kampusnya, tempat mainnya, tempat dia menghabiskan waktunya
saat istirahat, dan seterusnya. Sudah kubilang tadi, orang yang sedang jatuh
cinta punya rasa penasaran yang bahkan bisa membunuh seekor harimau bengal.
Tapi,
aku tidak menemukan apapun tentangnya. Tidak satu pun, selain yang sudah dia
beritahukan kepadaku. Bahwa dia matahari dan dia lahir hanya untuk menyinari.
Lalu, aku mulai curiga.
Kamu
tau apa yang ada dipikiranku, dipikiran setiap orang, ketika pagi berganti
siang, siang menjadi sore, sore berubah petang, petang menjema malam, dan
matahari kemudian menghilang? Ya, betul. Kemana lantas matahari pergi?
Aku
tidak pernah tau ini. dan dia membuaku penasaran setengah mati.
Sejak
itu aku mengenal bulan. Dia mirip matahari, tapi tidak seterang matahari. Tentu
saja. Tidak ada yang bisa mengalahkan sinar matahari yang membuatku jatuh
cinta. Tidak ada yang bisa menyainginya,karena dia cuma satu. Meski seluruh
cahaya dari alam lain berkumpul dan bersatu untuk menundukan dia. Aku tidak
bisa menemukan matahriku dimanapun, sebab aku hanya tepian daun. Aku hanya
menunggu dia setiap pagi, menanti lembut sinarnya yang merayap disekujur
tubuhku. Dia tidak pernah gagal membuatku merasa nyaman dan selalu hadir untuk
menjadi teman.
Oh
ya, teman. Begitu pada akhirnya dia berkata kepadaku.
“Aku
hanya menganggapmu sebagai teman, sahabat” salah satu dari beratus-ratus miliar
sulur cahayanya berbisik di telingaku. “Maaf, aku tidak memberitahumu selama
ini, tapi aku jatih cinta kepada bulan.”
Sejak itu, cahayanya, cahaya matahari
yang sempat membuatku jatuh cinta, tidak lagi terasa sama. Tidak pernah terasa
sama.
Aku
tidak menyukai bulan. Sebab setiap dia ada, matahariku menjadi tidak ada.
Kamu
(matahari) datang ketika ketika aku begitu hangat, entah karena demam atau
sedang cemburu. Namun, kamu seolah memahamiku. Kamu yang membuatku sejuk.
Membuatku merasa beruntung lahir sebagai daun yang bisa merasakan tenang
suaramu mengucap Selamat pagi.
Tapi ketika aku merasa pada akhirnya
mampu jatuh cinta lagi, kamu tiba-tiba saja pergi.
ins.by: beberapa adegan di pagi hari